Selasa, 09 Juni 2009

(hadits) "Kerinduan Sayyidina Umar bin Khoththob ra. kepada Rosulullaah Saw"

Kerinduan Umar bin Khoththob ra. kepada Rosulullaah Saw.

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika, setelah Rosulullaah Saw meninggal dunia, terdengar Umar ra. menangisi Beliau, seraya berkata: 
“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah Saw, sebermula ada sebatang pokok kurma yang kau jadikan tumpuan untuk berdiri apabila sedang berkhutbah. Namun manakala khalayak semakin banyak, engkau pun menggunakan sebuah mimbar agar mereka dapat mendengarmu. Maka merintihlah pokok kurma itu karena merasa sedih berpisah denganmu. Lalu kau letakkan tanganmu di atasnya, sehingg ia pun menjadi tenang kembali. Dan sudah barang tentu, umatmu adalah lebih layak untuk merindukanmu, ketika kau berpisah dari mereka.”  
(HR. Bukhori, Muslim, Jabir, dan Ibnu Umar).

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, sedemikian besarnya keutamaanmu di sisi Allaah Swt. sehingga Ia menjadikan ketaatan kepadamu sama seperti ketaatan kepada-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Barangsiapa ta’at kepada Rosul, maka sesungguhnya ia ta’at kepada Allaah...” [QS.4.An-Nisa: 80]

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah; sedemikian besarnya keutamaanmu di sisi Allaah Swt, sehingga Ia membeitahumu tentang kesalahan apa yang sekiranya kau lakukan. Maka Ia pun berfirman: “Sungguh Allaah telah mema’afkan mu; mengapa engkau mengizinkan mereka (untuk tidak ikut pergi berperang)...” [9.At-Taubah: 43]

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah ; sedemikian besarnya keutamaanu di sisi Allaah Swt; sehingga (meskipun) Ia mengutusmu sebagai Nabi terakhir, namun Ia telah menyebutmu dalam urutan pertama di antara para Nabi. Maka Ia pun berfirman: “...Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para Nabi; yaitu dari engkau sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Mariyam...” [QS.33. Al-Ahzab: 7].

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, sedemikian besarnya keutamaanm di sisi Allaah Swt., sehingga para penghuni neraka sangat ingin seandainya mereka dahulu (ketika masih hidup di dunia) tidak memusuhimu, sementara mereka sedang merasakan azab di antara lapisan-lapisan neraka. “Mereka berkata: ‘Alangkah beruntungnya (kami) seandainya dahulu kami ta’at kepada Allaah dan ta’at kepada Rosul....” [QS. 33. Al-Ahzab: 66].

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah; betapa pun Musa bin ‘Imron telah diberi Allaah sebuah batu yang darinya memancar sejumlah sungai, namun hal itu tidaklah lebih bersifat ajaib, daripada jemarimu yang darinya memancarkan air.” 
(HR. Bukhori dan Muslim dari Annas).

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, betapa pun Sulaiman bin Daud telah diberi Allaah angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan (biasa) sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula, namun hal ini tidaklah lebih ajaib daripada Buroq yang – pada peristiwa isro’- telah engkau kendarai (di malam hari) sampai ke langit ketujuh, lalu engkau pulang (pada malam itu juga), Sholawat Allaah atas dirimu.”  
(HR. Muttafaq ‘alaih, dari Annas).

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, betapa pun Isa bin Mariyam diberi Allaah kemampuan untuk menghidupkan orang yang telah mati, maka itu tidaklah lebih ajaib daripada - daging domba yang dalam keadaan telah diracuni dan dibakar – langsung berbicara kepadamu dan berkata: ‘Jangan memakanku, sebab aku telah diracuni.’
(HR. Abu Daud, dari Jabir).

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, telah berdo’a Nuh as atas kaumnya dengan berkata: ‘Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal (hidup) di atas bumi.’ [QS. 23. Nuh: 26].
Maka seandainya engkau berdo’a atas kami seperti do’a Nuh kepada umatnya, niscaya kami semua telah binasa. Betapa punggungmu telah diinjak, wajahmu telah dilukai dan gerahammu telah dipatahkan, namun engkau tetap saja tak mau mengucapkan sesuatu selain yang baik-baik saja. (HR. Muttafaq’alaih, dari Sahl ibnu Sa’d). Ketika itu engkau pun berdo’a: “Ya Allaah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti.” (HR. Al-Baihaqy).”

“Demi ayah dan ibuku, wahai Rosulullaah, seandainya engkau hanya mau bergaul dengan orang-orang tertentu yang sepadan denganmu saja, niscaya engkau takkan mau bergaul dengan kami. Seandainya engkau hanya mau menikahi wanita-wanita yang sepadan denganmu saja, niscaya engkau takkan mau menikahi wanita-wanita dari kalangan kami. Dan seandainya engkau hanya mau makan bersama dengan orang-orang yang sepadan denganmu, niscaya kau takkan mau makan bersama kami. Engkau juga biasa mengenakan pakaian dari bulu domba (HR. Ath-Thoyaalisiy dari Sahl Ibnu Sa’d) , mengendarai keledai, memboncengkan seseorang dari kami (HR. Mottafaq’alaih), meletakkan makananmu di atas lantai (HR. Ahmad, dari Az-Zahl) dan menjilati jemarimu (sesudah makan) - (HR. Muslim, dari Ka’b bin Malik bin Annas), yang kesemuanya itu bersumber dari sikap rendah hatimu. (Semoga Allaah nelimpahkan sholawat-Nya atas dirimu).”

Pernah seorang dari mereka berkata: ‘Sementara aku menulis (catatan tentang) beberapa adits, aku selalu mengiringinya dengan menuliskan sholawat untuk Nabi Saw, tanpa melengkapinya dengan salam untuk beliau. Malamnya ku berjumpa dengan beliau dalam mimpiku, dan beliau berkata: “tidakkah sebaiknya engkau melengkapi sholawat untukku dalam bukumu?” Maka sejak itu, tak pernah aku mengucapkan sholawat kecuali melengkapinya dengan ucapan salam untuk beliau.”

Diriwayatkan dari ‘Abu-l Hasan, katanya: “Aku pernah berjumpa dengan Nabi Saw dalam mimpi, lalu kukatakan kepada beliau: ‘YaRosulullaah, apa kiranya ganjaran bagi Asy-Syafi’i, ketika ia berkhalwat untukmu dalam kutabnya ‘Ar-Risaalah’ dengan ungkapan: ‘Semoga Allaah bersholawat atas Muhamma setiap kali ia disebut oleh para penyebut, dan setiap kali sebutan tentangnya dilalaikan oleh para pelalai?’ Maka Nabiyallaah Saw menjawab: “Karena ucapannya itu, ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan (kisah pada hari ikiamat).” 

Shodakallaahul’adziim
Wassalaammu’alaikum wr.wb.

Kemuning

Tidak ada komentar:

Posting Komentar